Bali, Surya Indonesia.net – Dugaan praktik pemerasan yang melibatkan sejumlah oknum aparat kembali mencoreng marwah institusi kepolisian. Kali ini, seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) asal Tabanan, Bali, dengan keberanian besar menyampaikan laporan resmi sekaligus membuat surat terbuka kepada Presiden Republik Indonesia, H. Prabowo Subianto, atas dugaan tindakan pemerasan dan penyalahgunaan wewenang oleh tiga orang oknum anggota Propam Polda Bali.
Kasus ini bermula dari persoalan pribadi sang Ibu PNS yang merasa difitnah dan dicemarkan nama baiknya oleh akun Instagram bernama @Pelakor5678, yang memposting tuduhan tidak benar dan menyerang kehormatannya. Dalam kondisi tertekan secara psikologis, korban kemudian bertemu dengan seorang anggota Polri yang dikenalnya, yakni AIPTU I Made Agra Simon, untuk meminta arahan terkait apa yang harus ia lakukan.
Namun justru dari pertemuan tersebut, masalah baru muncul.
Menurut surat resmi yang ditujukan kepada Presiden RI, tiga oknum anggota Propam Polda Bali — IPDA Aris, AIPTU I Made Agra Simon, dan Brigadir I Kadek Evan Kertanegara — diduga menawarkan “bantuan” untuk melakukan takedown akun tersebut melalui Direktorat Siber Polda Bali, dengan syarat korban menyerahkan uang operasional sebesar Rp25.000.000.
Pertemuan itu dilakukan di sebuah kafe di Renon, Denpasar, di mana ketiga oknum tersebut memperkenalkan diri sebagai “team khusus Propam Polda Bali” serta mengaku mampu menyelesaikan permasalahan korban dengan cepat. Dalam suratnya, korban menulis bahwa IPDA Aris bahkan mengaku sebagai komandan tim dan berulang kali meyakinkan bahwa proses itu membutuhkan biaya khusus.
Untuk memperkuat kesan resmi dan valid, korban bahkan diminta membuat laporan polisi di SPKT Polda Bali, dan dijanjikan akan ditemani oleh para oknum tersebut. Namun kenyataannya, setelah korban melakukan transfer uang ke rekening BRI atas nama I Kadek Evan Kertanegara dan melaporkan kasusnya ke SPKT—ketiga oknum itu tak pernah muncul.
Lebih jauh lagi, saat korban menanyakan kepada Unit Siber Polda Bali terkait uang operasional, korban mendapat penjelasan bahwa pengaduan masyarakat tidak dipungut biaya apa pun. Artinya, uang Rp25 juta yang dipinjam korban tersebut tidak pernah dibutuhkan dalam proses resmi, sehingga semakin menguatkan dugaan pemerasan dan penipuan.
Yang lebih menyakitkan lagi, menurut korban, setelah uang diterima, ketiga oknum tersebut mengabaikan komunikasi, tidak membantu proses laporan, dan tidak memberikan pertanggungjawaban apa pun.
Merasa menjadi korban kejahatan oleh sejumlah oknum yang seharusnya menjadi garda terdepan pengawasan internal Polri, korban akhirnya menulis surat resmi kepada Presiden RI pada tanggal 3 Juli 2025, di Denpasar. Surat itu ditembuskan pula kepada Wakil Presiden, Kapolri, Irwasum Polri, Kadiv Propam Polri, dan Kapolda Bali.
Dalam surat tersebut, korban dengan tegas meminta Presiden untuk memerintahkan Kapolri menindak tiga oknum tersebut, memproses secara etik maupun pidana, serta memindahkan mereka dari Propam Polda Bali karena diduga kerap menyebut diri sebagai “team khusus” yang seolah kebal hukum.
Namun hingga saat surat ini disusun, korban menyampaikan bahwa belum ada tindak lanjut berarti dari Propam Polda Bali, dan justru berkembang dugaan bahwa beberapa oknum di internal Propam melindungi mereka.
Situasi ini menimbulkan keresahan publik. Terlebih lagi, masyarakat masih mengingat pernyataan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo tentang komitmen memberantas perilaku menyimpang di tubuh Polri—
“Jika ada yang bermain-main, potong kepalanya!”
Sebuah kalimat tegas yang berarti bahwa siapapun pimpinan yang tidak mampu menertibkan anggotanya akan dicopot dari jabatan.
Dalam konteks kasus di Bali ini, masyarakat berharap pernyataan itu benar-benar diwujudkan. Apalagi jika dugaan bahwa oknum Propam melindungi pelaku benar adanya, maka hal tersebut merupakan ancaman serius terhadap citra dan integritas institusi Polri.
Masyarakat berharap Kapolda Bali bertindak tegas, transparan, dan tidak ragu memberikan sanksi berat hingga pemecatan terhadap pihak-pihak yang terbukti melakukan pelanggaran berat sebagaimana diatur dalam:
Pasal 368 KUHP (Pemerasan)
Pasal 372 KUHP (Penggelapan)
Pasal 378 KUHP (Penipuan)
UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian terkait larangan penyalahgunaan wewenang
Kode Etik Profesi Polri (KEPP) yang mewajibkan anggota berperilaku jujur dan tidak memanfaatkan jabatan untuk keuntungan pribadi.
Jika kasus ini tidak ditangani secara serius, maka yang rusak bukan hanya satu institusi, tetapi kepercayaan publik yang selama ini sedang dibangun kembali oleh Polri.
Masyarakat menunggu langkah tegas, cepat, dan transparan—karena hukum seharusnya melindungi masyarakat, bukan malah menindas mereka melalui oknum yang tidak bertanggung jawab.
( red)





















