Badung , Surya Indonesia.net – (25/10/2024) Rudenim Denpasar dibawah kepemimpinan Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan RI Agus Andrianto ini kembali mendeportasi dua orang WNA di Bali, yakni seorang pria WN Nigeria berinisial SNO (36) dan pria WN Amerika Serikat berinisial SVO (41) karena melanggar Pasal 75 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian.
Dalam ketentuan Pasal 75 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian menyebutkan bahwa Pejabat Imigrasi berwenang melakukan Tindakan Administratif Keimigrasian terhadap Orang Asing yang berada di Wilayah Indonesia yang melakukan kegiatan berbahaya dan patut diduga membahayakan keamanan dan ketertiban umum atau tidak menghormati atau tidak menaati peraturan perundang-undangan dikenai Tindakan Administratif Keimigrasian berupa Deportasi dan Penangkalan.
Kepala Rumah Detensi Imigrasi Denpasar Gede Dudy Duwita menjelaskan bahwa
Pria kelahiran 1988 ini tiba di Indonesia melalui Bandara Soekarno Hatta pada 7 Desember 2019 dengan menggunakan Izin Kunjungan. Pada 29 Mei 2024, petugas Imigrasi menemukan SNO di sebuah kos di Denpasar Barat tanpa paspor atau dokumen keimigrasian yang sah. Ia mengaku bahwa paspornya telah hilang pada Desember 2019. Akibat pelanggaran tersebut, SNO dikenakan pidana denda sebesar Rp. 20.000.000, namun karena SNO tidak sanggup membayar denda tersebut, maka ia harus menjalani pidana kurungan selama satu bulan dan telah dibebaskan dari Lapas Kelas II A Kerobokan pada 14 September 2024.
Penangkapan SNO merupakan bagian dari operasi penertiban yang lebih luas terhadap warga negara asing yang melebihi batas izin tinggal (overstay) di Bali. Sebelumnya, pada akhir Mei 2024 Kantor Imigrasi Kelas I Khusus TPI Ngurah Rai menangkap 24 warga negara asing dari Nigeria, Ghana, dan Tanzania yang terlibat dalam kasus overstay, dan sebagian dari mereka diduga sengaja menghilangkan paspor mereka untuk menghindari pengawasan. Delapan WNA yang terlibat dalam kasus ini, termasuk SNO, diketahui sengaja menghilangkan paspor untuk menyulitkan identifikasi oleh pihak berwenang, termasuk untuk mempersulit identifikasi keberadaan mereka. Upaya mereka dapat dikatakan tidak berhasil lantaran pihak Imigrasi memiliki rekaman data keimigrasian pada setiap WNA termasuk kapan mereka masuk ke Indonesia dan jenis visa yang digunakan.
Pada kasus lainnya, SVO mengaku baru pertama kali datang ke Indonesia pada 15 Oktober 2024 menggunakan Visa on Arrival yang berlaku hingga 13 November 2024. Namun pada 23 Oktober 2024 SVO diamankan oleh Satpol PP Kabupaten Gianyar dikarenakan ditemukan linglung di sekitaran Monkey Forest, Ubud sehingga telah mengganggu ketentraman dan ketertiban umum. Atas kejadian tersebut SVO diserahkan ke Kantor Imigrasi Kelas I TPI Denpasar. Dalam pemeriksaan SVO menyatakan bahwa pada malam sebelum ia diamankan, SVO mengaku tertidur di sekitaran Monkey Forest dalam keadaan mabuk hingga akhirnya dianggap mengganggu kamtibmas. Selain gangguan tramtibmas didapati pula SVO tidak dapat menunjukkan paspornya ketika diminta oleh Pejabat Imigrasi dalam kejadian tersebut sehingga telah melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian.
Karena pendeportasian tidak dapat dilaksanakan pada kesempatan pertama, SNO dipindahkan ke Rumah Detensi Imigrasi Denpasar pada 14 September 2024 dan SVO pada 23 Oktober 2024 sambil menunggu proses pendeportasiannya.
Dudy menerangkan setelah SNO didetensi selama 41 hari, sementara SVO didetensi selama 2 hari di Rudenim Denpasar dan dengan upaya ekstra jajarannya dalam mengusahakan pendeportasiannya, akhirnya keduanya dapat diberangkatkan ke negara masing-masing. SNO dan SVO telah dipulangkan melalui bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai pada 25 Oktober 2024 dengan tujuan akhir SVO yakni John F Kennedy International Airport dan SNO dengan tujuan akhir Lagos International Airport dengan dikawal oleh petugas Rudenim Denpasar.
Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Ham Bali, Pramella Yunidar Pasaribu menyatakan, “Kami terus memperkuat komitmen dalam menegakkan pengawasan yang ketat terhadap warga negara asing di wilayah Bali. Kasus-kasus seperti ini menegaskan pentingnya koordinasi antara instansi terkait untuk memastikan aturan keimigrasian dihormati dan dipatuhi. Bali adalah tujuan wisata global, dan tugas kami adalah menjaga kenyamanan dan ketertiban bagi masyarakat serta pengunjung. Pengawasan akan kami tingkatkan melalui operasi rutin yang melibatkan berbagai pihak, sehingga setiap potensi ancaman terhadap ketertiban umum dapat diatasi dengan cepat dan tegas,” jelas Pramella.
Ia juga menambahkan bahwa pihaknya akan melakukan evaluasi berkala terkait pelaksanaan operasi pengawasan, terutama terhadap WNA yang melakukan pelanggaran, demi mewujudkan lingkungan yang aman dan tertib di Bali.
( Ags )