Pemikiran Filsafat Sosial:
Seorang filsuf pernah berkata: “Penyesalan terbesar dalam sejarah manusia adalah penerimaan istilah manusia”
Oleh Djoko Sukmono
Seorang filsuf berkata bahwa Penyesalan terbesar dalam sejarah manusia adalah penerimaan istilah “manusia”.
Istilah ini memiliki implikasi yang sangat luas dan mendalam.
Untuk memahami manusia di dalam men-dunia, setiap manusia dibebani tugas dan kewajiban yang sering bertentangan dengan eksistensi dan kehidupannya.
Yang paling mengerikan adalah ketika dideklarasikan sebuah nama yang fenomenal, yakni humanisme.
Darinya lahirlah berbagai pengertian dan konsep tentang manusia.
Hari ini, tanggal 3 November 2025,
Saya, Joko Sukmono, menyatakan bahwa upaya untuk memanusiakan manusia telah menjadi tanggung jawab bersama, baik oleh individu maupun kelompok.
Dan saya menyatakan bahwa konsep lama tentang manusia dan kemanusiaan telah mengalami perubahan yang revolusioner.
Seorang filsuf pernah berkata: “Penyesalan terbesar dalam sejarah manusia adalah penerimaan istilah manusia”.
Sejak saat itu, sejarah tidak lagi sekadar kisah tentang hidup, melainkan tentang penafsiran atas hidup.
Kata manusia menjadi penjara yang tampak indah — sebuah konsep yang menamai, menilai, sekaligus membatasi yang belum selesai.
Manusia mulai hidup di dalam definisinya sendiri. Ia memuja dirinya dalam cermin, namun semakin jauh dari wajahnya yang sejati.
Sang filsuf melanjutkan: Untuk memahami manusia dalam men-dunia, setiap manusia dibebani tugas dan kewajiban yang bertentangan dengan eksistensinya.
Ia diminta menjadi moral dalam dunia yang korup, rasional dalam sistem yang irasional, bahagia dalam dunia yang kehilangan makna. Dan di tengah kontradiksi itu, manusia terus memikul beban yang diciptakannya sendiri.
Kemudian dunia menamai ilusi itu dengan istilah humanisme. Sebuah nama yang lahir dari kehendak luhur, namun tumbuh menjadi ideologi baru yang menggantikan altar lama.
Humanisme, yang dulu bermaksud membebaskan manusia dari tirani dogma, kini berubah menjadi dogma baru yang menutup kemungkinan menjadi sesuatu selain manusia.
Atas nama humanisme, manusia memuja dirinya sendiri — tetapi sembari itu juga menundukkan bumi, memenjarakan sesamanya, dan menciptakan sistem yang menukar makna dengan angka.
Dan di puncak peradaban itu, berdirilah satu sistem yang mengklaim sebagai puncak kebebasan: kapitalisme.
Sistem ini lahir dari janji tentang kemajuan, namun hidup dari ketakutan manusia akan kehilangan makna.
Ia mengubah cinta menjadi komoditas, kerja menjadi pengorbanan tanpa makna, waktu menjadi angka di layar, dan diri menjadi profil yang dipasarkan. Manusia menjadi konsumen dari mimpinya sendiri.
Kapitalisme menciptakan bentuk baru dari keterasingan: Manusia bekerja lebih keras agar bisa menikmati hidup yang tak lagi sempat ia rasakan; ia mencari makna lewat kepemilikan, dan kehilangan dirinya di tengah kelimpahan.
Lalu muncul generasi yang penuh kesadaran tetapi kehilangan arah — manusia yang tak lagi miskin secara material, namun kosong secara eksistensial.
Mereka hidup dalam dunia yang serba terhubung, tetapi kesepian menetes di setiap layar.
Depresi menjadi epidemi sunyi abad ini: penyakit yang tak disebabkan oleh kekurangan, melainkan oleh kehilangan makna.
Hari ini, 3 November 2025,
Saya, Joko Sukmono, menyatakan bahwa tugas untuk memanusiakan manusia tidak lagi cukup dimaknai sebagai pembinaan moral atau pembangunan sosial.
Ia adalah perjuangan eksistensial – perjuangan untuk membebaskan manusia dari struktur yang menindas kesadarannya sendiri.
Saya menyatakan bahwa konsep lama tentang manusia dan kemanusiaan telah mengalami perubahan yang revolusioner.
Kemanusiaan baru harus lahir dari kesadaran bahwa hidup tidak dapat diukur oleh keuntungan, efisiensi, atau produktivitas.
Kita harus memulihkan kembali martabat manusia dari logika nilai-tukar, memulihkan cinta dari kalkulasi, dan mengembalikan jiwa.
Maka tugas kita hari ini bukan sekadar memanusiakan manusia, melainkan menebus manusia dari peradaban yang membuatnya lupa bahwa ia hidup.
Sebab penderitaan terbesar manusia modern bukan lagi kelaparan tubuh, melainkan kelaparan makna dan tak ada sistem, seberapa canggih pun, yang mampu memberi makan jiwa yang telah kehilangan dirinya. ***)
Posted: suryaindonesia.net
Surabaya, 3 November 2025


















