Opini:
THE VELOCITY OF PURBAYA
Oleh Radhar Tribaskoro
Selalu ada sesuatu yang pelan dalam ekonomi kita: bukan sekadar pertumbuhan yang tersendat, bukan hanya konsumsi yang naik-turun seperti napas pendek, melainkan aliran uang yang bergerak lamban, seperti sungai besar yang kehilangan arusnya.
Pada grafik makro, Indonesia terlihat baik-baik saja. Pertumbuhan ekonomi 5% per tahun, inflasi terkendali, cadangan devisa relatif stabil. Tetapi seperti kata Amartya Sen, “Statistik dapat menenangkan pemerintah, tapi tidak selalu menenangkan perut manusia.”
Di jalan-jalan kampung dan pasar-pasar kecil, detak itu melemah. Warung nasi tutup lebih cepat. Tukang kayu kembali ke sawah. Pekerjaan informal meningkat, pendapatan menurun, dan perputaran uang — velocity of money — terus jatuh.
Bank Indonesia mencatat: “_Velocity 0f money_ (kecepatan uang beredar) Indonesia turun dari 8,5 (2011) menjadi sekitar 6,0 (2023).” Artinya, uang yang sama kini berputar lebih sedikit untuk membeli barang dan jasa. Ekonomi berjalan, tetapi bagai tubuh yang kekurangan darah.
Di tengah situasi itu, muncul nama Purbaya. Menteri Keuangan ini mengambil langkah yang mengusik ketenangan intelektual para penjaga ortodoksi moneter: memindahkan dana pemerintah dari Bank Indonesia ke bank-bank Himbara untuk mendorong kredit ke sektor produktif, terutama UMKM yang menyerap 97% tenaga kerja — tetapi hanya mendapat 18–20% kredit perbankan nasional. “Uang negara jangan hanya diam,” katanya. “Ia harus bekerja.”
Kutipan itu sederhana. Tetapi di balik kesederhanaannya, ada kritik fundamental terhadap cara kita mengelola ekonomi selama dua dekade terakhir.
Kita telah membangun ekonomi aman, bukan ekonomi hidup.
Para ekonom yang keberatan punya alasan mereka sendiri. Profesor Ferry Latuhihin, misalnya, mengatakan: “Kebijakan fiskal tidak boleh mengganggu kebijakan moneter, karena ini membuka ruang populisme dan mengancam kredibilitas.” (Diskusi Publik, Jakarta, 2024).
Mazhab yang sama sudah lama tertanam di birokrasi ekonomi kita: stabilitas adalah kebajikan tertinggi. Uang harus aman. Bunga harus terkendali. Biarlah pasar bekerja sendiri.
Masalahnya: pasar tidak pernah bekerja sendiri dalam struktur yang timpang.
• 60% dana perbankan terkonsentrasi di 7 bank besar
• Kredit lebih banyak mengalir ke sektor korporasi yang aman
• Bank enggan memberi kredit ke UMKM karena biaya risiko lebih tinggi
• Sementara itu dana pemerintah mengendap di BI mencapai ratusan triliun
Di sini kita melihat bukan masalah likuiditas, melainkan masalah keberanian menyalurkan likuiditas.
Uang ada. Tapi ia diam.
Sebagian ekonom menuduh langkah Purbaya tidak disiplin secara moneter. Tetapi di sisi lain, sejarah perekonomian menunjukkan: Ekonomi yang sehat bukan hanya yang stabil, tetapi yang mengalir.
Pada krisis 1930-an, John Maynard Keynes menulis: “Uang yang menganggur adalah dosa ekonomi. Ia menciptakan kehancuran yang sunyi.”
Dan Milton Friedman — bapak monetaris sendiri — mengatakan:
“Inflasi adalah fenomena moneter — tapi stagnasi juga.”
Inflasi memang harus dijaga. Tapi stagnasi menggerogoti rakyat lebih dalam dan lebih senyap.
Kontra-argumen yang paling kuat terhadap Purbaya sebenarnya bukan ideologis, melainkan institusional:
• Bank Himbara bisa saja tidak menyalurkan kredit ke UMKM walaupun dana mereka bertambah.
• Kredit UMKM membutuhkan infrastruktur pendampingan, penjaminan, dan manajemen risiko.
• Tanpa itu, dana hanya akan berputar di sektor konsumsi dan korporasi lagi.
Artinya, pemindahan dana adalah syarat perlu, tapi bukan syarat cukup.
Jika sistem perbankan tidak berubah, velocity tetap rendah, dan kebijakan ini hanya menjadi riasan angka di neraca keuangan.
Di sinilah letak persoalan sesungguhnya:
Masalah kita bukan kekurangan uang, tetapi kekurangan keberanian untuk menggerakkan uang. Uang itu ada. Tetapi sistemnya lamban. Banknya takut. Negaranya ragu.
Uang yang diam itu mirip air di kolam yang tak kunjung mengalir: jernih di permukaan, tetapi perlahan menghijau dan berbau.
Apakah langkah Purbaya akan berhasil? Kita tidak tahu. Sejarah bukan soal kepastian. Ia soal risiko, pengujian, dan keteguhan kehendak.
Tetapi satu hal jelas:
Kalau ekonomi kita tetap seperti ini — tumbuh di atas kertas, tapi layu di bawah —
maka ketidakpuasan sosial akan tumbuh diam-diam, seperti rumput liar.
Dan ketika rakyat kehilangan rasa bahwa mereka bagian dari pertumbuhan, demokrasi kehilangan pijakan moralnya.
Sebab pada akhirnya, ekonomi bukan hanya angka. Ia adalah perasaan memiliki masa depan.
Karena itu, mungkin tulisan ini perlu ditutup bukan dengan keyakinan, tetapi dengan pengingat.
_“Dalam banyak peradaban kuno, air yang mengalir dianggap kehidupan. Air yang diam dianggap penyakit.”_
Uang, seperti air, harus mengalir. Bila ia berhenti, tubuh kehilangan nadinya.
Maka, di tengah perdebatan tentang kebijakan, kredibilitas, dan stabilitas, kita perlu mengingat sesuatu yang sederhana: “Uang dibuat untuk bergerak. Dan ekonomi dibuat untuk hidup.”
Selebihnya — sejarah akan menilai. Apakah langkah ini menjadi awal pemulihan, atau catatan kecil tentang seseorang yang mencoba menggerakkan air yang menggenang. ***)
Posted: suryaindonesia.net
Cimahi, 2 November 2025
Penulis:
Berijasah asli dari Jurusan Studi Pembangunan FE-Unpad
Anggota Komite Eksekutif KAMI
Ketua Komite Kajian Ilmiah Forum Tanah Air


















