Lampung Utara – Surya indonesia.net – Kasus dugaan penyerobotan lahan sawit seluas 11 hektare di Desa Sri Agung, Kecamatan Sungkai Jaya, Lampung Utara, yang menyeret nama anggota DPRD Lampung Utara dari Fraksi PDI Perjuangan, Hi. Hendra Setiadi, S.T., M.H., memasuki babak baru.
Kasus yang dilaporkan pihak pelapor ke Polres Lampung Utara beberapa waktu lalu ini, diduga kuat bermotif pemerasan terhadap politisi tersebut dengan nilai mencapai Rp1,3 miliar.
Tanah yang dipersoalkan merupakan lahan warisan milik almarhum Hi. Djuhri, ayah kandung Hendra, yang sebagian telah dibeli secara resmi oleh almarhum jauh sebelum wafat. Namun, pihak pelapor justru menuduh Hendra melakukan penyerobotan atas lahan itu hingga melaporkannya ke kepolisian.
Laporan tersebut tercatat dalam LP Nomor: LP/512/B/IX/2024/Polda Lampung/SPK Res LU tertanggal 26 Oktober 2024, dan ditindaklanjuti dengan SPDP Nomor: SPDP/126/IX/RES.1.2./2025/Reskrim tertanggal 9 September 2025.
Meskipun demikian, hingga kini pihak terlapor belum pernah dipanggil untuk dimintai keterangan, dan status tersangka pun belum ditetapkan.
Kuasa hukum Hendra Setiadi menegaskan bahwa kliennya tidak melakukan pelanggaran hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 385 KUHP atau Perpu Nomor 51 Tahun 1960 tentang Penyerobotan Tanah.
Tim hukum bahkan menilai laporan tersebut merupakan bentuk tekanan dengan motif ekonomi.
“Masalah ini cukup unik. Mengapa pelapor tidak melaporkan kasus ini saat almarhum orang tua klien kami masih hidup? Anehnya lagi, ada permintaan dana yang cukup fantastis,” jelas kuasa hukum Hendra.
Saat ini proses hukum masih dalam tahap penyelidikan dan berjalan secara netral. SPDP yang dikirim ke kejaksaan pun masih kosong atau belum mencantumkan nama tersangka.
Namun, fakta di lapangan menunjukkan kejanggalan setelah muncul permintaan tebusan Rp1,3 miliar dari pihak pelapor kepada Hendra, yang nilainya dinilai jauh melampaui harga lahan sebenarnya.
Melalui kuasa hukumnya, Hendra juga telah mengajukan permohonan perlindungan hukum ke Bidang Propam Polda Lampung.
Tim hukum menegaskan kembali bahwa klien mereka tidak melakukan pelanggaran pidana, melainkan menjadi korban upaya pemerasan.
“Fakta hukum menunjukkan tidak ada unsur pidana dalam perkara ini. Tuduhan penyerobotan tanah hanyalah upaya tekanan dan pemerasan terhadap klien kami,” tegas tim hukum Hendra.
Sementara itu, Hendra menjelaskan bahwa seluruh dokumen jual beli, kwitansi pembayaran, serta surat pernyataan kepemilikan sah masih tersimpan dengan baik.
“Saya ini ahli waris sah. Aset itu bukan milik orang lain, melainkan peninggalan almarhum ayah kami sendiri. Bahkan sebagian bidang telah dibeli resmi sebelum beliau wafat. Mengapa justru kami yang dituduh menyerobot?” ujar Hendra.
Ia menambahkan, tidak ada tindakan sepihak dalam pengelolaan lahan tersebut. Sejak 19 November 2022, seluruh ahli waris telah menandatangani berita acara resmi pembagian dan pengelolaan aset keluarga.
“Semua langkah yang saya ambil atas seizin keluarga besar, bukan tindakan sepihak. Justru kami sedang berupaya menjaga dan melindungi aset keluarga agar tidak dimanfaatkan pihak luar,” tegasnya.
Hendra juga meminta aparat penegak hukum bersikap objektif dan tidak terpengaruh tekanan dari pihak tertentu. Ia menilai tuduhan pidana terhadap dirinya tidak berdasar karena bukti kepemilikan sudah lengkap dan sah secara hukum.
“Kami menghormati proses hukum, tapi jangan sampai fakta warisan keluarga dipelintir menjadi kasus pidana. Jika bukti kepemilikan sudah jelas, semestinya perkara ini bisa dihentikan demi kepastian hukum,” tuturnya.
Politisi PDI Perjuangan itu menegaskan bahwa dirinya terbuka untuk berdialog dengan pihak mana pun yang mengklaim hak atas lahan tersebut, asalkan disertai bukti hukum yang kuat.
“Kami siap duduk bersama secara baik-baik. Namun, jika serangan dilakukan dengan laporan tanpa dasar, kami juga siap menempuh jalur hukum atas tuduhan ini,” pungkasnya.
















