Denpasar , Surya Indonesia – Kepala Biro Pemerintahan dan Kesra Setda Provinsi Bali I Ketut Sukra Negara mengatakan pembebasan lahan untuk pembangunan Tol Gilimanuk-Mengwi ditargetkan selesai dan sudah terbayar semua pada 2024 “Lahan yang diperlukan untuk pembangunan tol itu seluas 1.133 hektare, yang terbentang dari Gilimanuk sampai Mengwi dengan panjang lebih dari 96 kilometer,” kata Sukra Negara di Denpasar.Menurut Sukra, memang bukan perkara yang mudah membebaskan lahan yang begitu luas untuk pembangunan tol itu karena tak hanya menggunakan lahan milik pemerintah daerah, tetapi juga lahan milik masyarakat.
Untuk jalur tol pada lahan yang dikelola Perusda di daerah Pekutatan-Kabupaten Jembrana, ujar dia, sebagian sudah dibayarkan. Sedangkan yang lainnya sedang dalam pemasangan patok oleh tim Badan Pertanahan Nasional (BPN).
“Setelah pemasangan patok selesai, baru akan ada tim BPN untuk melakukan survei untuk persiapan sebelum nanti dilaksanakan penilaian harga oleh tim independen,” ujarnya.
Sukra menegaskan tidak ada pembebanan dana APBD untuk pembebasan lahan Tol Gilimanuk-Mengwi yang menghubungkan kawasan Bali bagian tengah hingga ujung barat Bali tersebut. Anggaran pembebasan lahan berasal dari pihak ketiga atau konsorsium.
Ia menambahkan tim penilaian harga pada lahan yang dibebaskan untuk proyek tol Gilimanuk-Mengwi itu merupakan tim independen yang terdiri atas berbagai komponen.
“Tim penilai lahan itu independen. Pemerintah tidak terlibat di dalamnya. Nanti memakai sistem lelang. Siapa pemenangnya, maka itu yang diberikan kewenangan untuk melakukan penilaian,” kata Sukra.
Penilaian lahan, lanjut dia, meliputi nilai keseluruhan yakni nilai bangunan dan nilai tanahnya. Harga ditetapkan oleh tim penilai.
Sebelum dilakukan penelitian, juga akan melibatkan masyarakat pemilik tanah, masyarakat akan diajak berkomunikasi, berdiskusi sehingga terjadi kesepakatan harga.
“Yang jelas, tidak serta merta harga ditetapkan begitu saja. Tetapi melibatkan masyarakat atau pemilik lahan karena akan dinilai tidak saja tanahnya, tetapi juga nilai bangunannya,” ujarnya.
Demikian pula bagi masyarakat yang memiliki tempat suci berupa pelinggih atau sanggah itu juga akan dinilai. Termasuk proses upacara dan upakara (sesajen) yang digunakan.
“Tim independen juga akan melibatkan dari unsur PHDI (Parisada Hindu Dharma Indonesia) setempat untuk menilai dari sisi upakara berupa ritual dan sesajen yang digunakan sebelumnya untuk penyucian bangunan suci,” kata Sukra. ( Gung-Red )