Suryaindonesia.net || Dalam takaran spiritual, Presiden Prabowo Subianto jelas sudah cukup matang untuk bersikap yang terbaik untuk bangsa, negara dan keluarganya yang tak lagi memerlukan pujian, tapi lebih mengedepankan. perbuatan nyata yang lebih bermanfaat bagi kemaslahatan orang banyak. Karena itulah kelak yang akan menjadi legasi bagi dirinya dan keluarga untuk dikenang sepanjang masa.
Bisa saja monumen sejarah keabadian yang mampu dia bangun hari ini semasa pengabdian melalui kekuasaan yang tulus dan ikhlas hari ini dan di masa mendatang kelak menjadi bagian dari penghias keabadian batu nisan yang tidak mungkin bisa dimiliki oleh semua orang keindahannya. Karena batu nisan yang indah itu kelak pasti akan bersanding dengan monumen keluarganya yang sudah dimulai dari Sang Eyang Margono Djojohadikoesoemo bersama Sang Ayah — Begawan Ekonomi Indonesia yang tiada duanya di negeri ini — Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo. Demikian juga dengan keluarga — Regowo Hadiprasetyo — Didit Hadiprasetyo — (anak) Titiek Soeharto (istri), Hashim Djoyohadikoesoemo juga terbilang sukses dan mapan, sehingga sungguh sangat meyakinkan untuk berbuat yang terbaik untuk negeri ini. Setidaknya, tidak lagi hendak sekedar memanfaatkan untuk kepentingan pribadi dan keluarga yang sudah lebih dari sekedar cukup untuk dikatakan mapan dan sukses dalam berbagai bidang kehidupan.
Demikian juga sosok saudara tua Prabowo Subianto — Bianti Djojohadikoesoemo, Goerge Djojohadikoesoemo (almarhum) yang pernah tinggal lama di luar negeri. Artinya, dari ketiga saudara Prabowo Subianto sebagai keluarga yang terpandang dan cukup berpengaruh dalam bidang ekonomi, bisnis dan politik jelas dan terang diwarisi dari Sangan Ayah sebagai Begawan Ekonomi dan Sang Kakek, pelaku sejarah awal republik Indonesia — sosok pejuang kemerdekaan, negarawan, perintis ekonomi nasional.
Margono Djojohadikoesoemo adalah Pendiri dan Ketua Dewan Komisaris pertama Bank Negara Indonesia (BNI) sejak awal berdiri pada 5 Juli 1946 semasa di Yogyakarta, hingga ketika itu menjadi simbol kedaulatan ekonomi dari kemerdekaan negeri ini. Bahkan — sang Kakek — kemudian menjabat Ketua Dewan Pertimbangan Agung (DPA) pertama Indonesia, khususnya menjadi penasehat Presiden Soekarno dalam menentukan kebijakan negara semasa itu. Lalu menjadi Diplomat dan Perwakilan Indonesia Dalam Perundingan Internasional. Tentu saja Kakek Prabowo Subianto menjadi Anggota Konferensi Meja Bundar yang menjadi bagian dari tonggak sejarah Republik Indonesia setelah merdeka. Dan sebelum itu pun, Margono Djojohadikoesoemo pun tercatat sebagai Anggota BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia.
Darah perjuangan dan kepahlawanan yang mengalir deras dalam jiwa dan raga Prabowo Subianto pun, dapat dipastikan menurun dari Sang Ayah — yang juga tercatat sebagai pejuang sejati yang tegas berdiri dalam gerakan PPRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) tahun 1958 kendati sebagai warga sipil dan selaku intelektual, bukan militer yang tidak sepakat atas dominasi kekuasaan politik dan ekonomi oleh pemerintah pusat — Jakarta — yang dilakukan Presiden Soekarno. Gerakan PPRI jelas mengekspresikan ketidakpuasan atas pembagian hasil sumber daya ekonomi daerah, serta penolakan terhadap perlakuan Presiden Soekarno yang terlalu mengistimewakan PKI (Partai Komunis Indonesia). Meski Soemitro Djojohadikoesoemo sempat distempel sebagai pemberontak akibat pilihan ideologis dan idealisme ekonomi yang dia yakini, setelah lebih dari 10 tahun mengasingkan diri, rekonsiliasi dari Orde Baru pun dibuka, dan rehabilitasi pun diperoleh hingga Soemitro Djojohsdikoesoemo dipercaya menjadi Menteri Keuangan, Menteri Perdagangan dan Menteri Riset langsung berada di bawah Presiden Soeharto.
Dan jiwa juang dari trah Margono Djojohadikoesoemo juga dibuktikan oleh kedua Sang Paman Prabowo Subianto yang gugur dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, yaitu Letnan Satu Subianto Djojohadikoesoemo yang gugur dengan pangkat terakhir Kapten Anumerta. Dan Sujono Djojohadikoesoemo, sebagai taruna militer yang gugur bersama Kapten Subianto saat pertempuran di Desa Lengkong, Serpong, Tangerang Selatan pada 24 Januari 1946. Toh, Prabowo Sendiri memilih karier utamanya melalui militer — jendral penuh — dan pernah memimpin satu pasukan elit yang sangat dibanggakan rakyat Indonesia, yaitu Kopassus (Komando Pasukan Khusus) yang sukses dalam membangun kompleknya yang asri di kawasan Jakarta Timur. Nama besar Jendral Prabowo Subianto terpampang gagah dan anggung sebagai Komandan Jendral Kopassus pada 1995-1998.
Artinya dalam satu trah yang berasal dari kalangan priyayi Jawa yang kuat dan teguh, juga terkenal mengakar pada nasionalis dan berpandangan jauh ke depan, serta selalu berpihak kepada rakyat. Agaknya, modal dasar inilah yang lebih dari cukup meyakini sosok Prabowo Subianto — sebagai Presiden Republik Indonesia — yang mewarisi kecerdasan Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto, kata Sri Eko Sriyanto Galgendu sungguh meyakinkan untuk melakukan yang terbaik untuk rakyat di negeri yang tengah dia pimpin hari ini.
Agaknya, paparan ini penting bukan saja untuk menjadi hadiah ulang tahun Prabowo Subianto ke-74 serta menandai satu tahun kepemimpinannya dalam pemerintahan Kabinet Merah Putih, tapi juga ekspresi dari rasa ikut bergembira untuk rekonsiliasi keluarga yang sakinah (ketenangan dan kedamaian, mawaddah (penuh rasa cinta) serta warahmah (kasih sayang) untuk rakyat dan keluarga.
Banten, 19 Oktober 2025