Suryaindonesia.net || Reformasi Polri yang harus dilakukan bukan hanya sebatas struktur kelembagaan belaka, tapi juga kultur personil Polri mulai dari tingkat tertinggi hingga ke tingkat yang paling rendah — prajurit — yang bertugas langsung di lapangan. Karena para petugas yang berada di lapangan akan berinteraksi langsung dengan warga masyarakat yang merasakan baik dan buruknya perlakuan personil Polri terhadap warga masyarakat.
Kultur personil Polri yang patut dibenahi mulai dari sikap, etika dan perilaku seluruh anggota Polri dalam menjalankan fungsi dan tugasnya yang harus mengayomi, melindungi dan melayani masyarakat tidak cuma berhenti sebatas slogan, tapi harus nyata diimplementasikan dalam menghadapi masyarakat. Karena itu, kecenderungan Polri untuk mencari kesalahan harus diubah menjadi upaya pencegahan dan penyuluhan untuk membangun kesadaran bersama warga masyarakat.
Sebagai contoh dari kebiasaan lama personil Polri yang melakukan pembiaran terhadap pelanggaran — lalu melakukan penangkapan atau tilang untuk warga masyarakat yang melintas di atas play over misalnya — seharusnya tidak diniatkan untuk kemudian dikenakan tilang, tetapi harus dilakukan pencegahan sekiranya pengendara sepeda motor tidak boleh melintas di atas jalan play over tersebut. Lalu sebagai petugas sepatutnya dapat menunjukkan larangan untuk melintas di atas jalan play over tersebut.
Jumlah personil Polri yang nyaris setengah juta orang ini — tepatnya dari data Atlantika Institut Nusantara menyebutkan sebanyak 464.248 orang — dapat memberi rasa aman dan nyaman, sehingga Polri sungguh dapat menjadi sahabat masyarakat. Bukan momok atau bahkan dianggap sebagai musuh yang harus dihindari untuk tidak berhubungan dengan pihak Kepolisian negara ini.
Informasi yang diperoleh Atlantika Institut Nusantara, kebutuhan ideal personil Polri berdasarkan Daftar Susunan Personil (DSP) Polri diperlukan sebanyak 824.226 personil, sehingga masih kekurangan sekitar 459.978 orang untuk mencapai jumlah minimal yang diperlukan.
Karena itu, dalam proses rekrutmen personil Polri yang baru — untuk semua jenjang maupun tingkatan — diperlukan seleksi yang ketat, serta diiringi dengan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan personil yang mampu mengimplementasikan sikap dan sifat pengayoman, perlindungan dan pelayanan bagi masyarakat.
Namun menilik kegiatan ekstra Polri yang dimanfaatkan untuk ikut mempercepat ketahanan dan pertahanan pangan hingga dapat segera mencapai swasembada pangan, perlu perlu ditinjau ulang bila sampai terjadi pengabaian pada tugas dan fungsi pokoknya untuk mengayomi, melindungi dan melayani warga masyarakat. Setidaknya, bagian dari tugas dan fungsi Kepolisian untuk mencegah dan ikut memberantas tindak pidana korupsi — yang terpaksa dibagi dengan pihak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus dapat menjadi tugas pokok Polri yang tidak boleh diabaikan.
Oleh karena itu Tim Reformasi Polri yang perlu segera dibentuk dapat bekerja maksimal — tidak sekedar formalitas belaka — karena hasilnya harus dapat benar-benar dirasakan oleh warga masyarakat dalam memperoleh pengayoman, perlindungan dan pelayanan. Jika tidak, maka Tim Reformasi Polri akan sia-sia saja karena tidak mampu memenuhi ekspektasi masyarakat.
Adapun hal yang terpenting dilakukan oleh Tim Reformasi Polri yang telah menjadi tuntutan dari masyarakat adalah melakukan pemulihan integritas dan kepercayaan publik yang dapat dilakukan melalui langkah-langkah strategis (1) penegakan hukum tanpa pandang bulu. Mulai dari menghapus praktek impunitas terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh oknum Polri. Bertindak tegas terhadap pelaku korupsi, tindak kekerasan dan penyalahgunaan wewenang dari dalam tubuh Polri sendiri.
Berikutnya adalah (2) melakukan reformasi kultural dan etika bagi lembaga Kepolisian. Mulai dari paradigma “penguasa” agar kembali kepada sikap pengayoman, perlindungan dan pelayanan yang lebih nyata dan kongkrit untuk dirasakan oleh warga masyarakat.
Karena itu, nilai-nilai kejujuran, empati dan sifat serta sikap humanisme harus mampu dilakukan seperti yang diperoleh dari pendidikan dan pelatihan yang serius dan memberi bekal untuk bertugas dengan baik sebagai abdi negara yang konsisten serta konsekuen. Maka itu, untuk mereka yang tidak memenuhi kriteria dasar — etika, moral dan akhlak mulia sebagai abdi negara — perlu dibersihkan atau disingkirkan dari kelembagaan Polri yang tidak boleh tercemar dan menghilangkan kepercayaan rakyat, seperti terhadap aparat pemerintah lainnya.
Itulah sebabnya (3) perbaikan sistem rekrutmen sumber daya manusia untuk Polri harus yang terpilih dan memiliki dedikasi serta tingkat pengabdian yang tinggi, tanpa pernah bisa diragukan. Bila tidak, maka reformasi Polri untuk mengembalikan kepercayaan rakyat, akan sia-sia dan gagal. Sehingga pada gilirannya, transparansi serta akuntabilitas — seperti membuka akses publik terhadap proses penanganan pelanggaran yang dilakukan pihak aparat pun dapat dikontrol oleh masyarakat.
Pada gilirannya, untuk memperkuat fungsi pengawasan internal Polri yang harus dilakukan oleh Propam dan pihak eksternal seperti Kompolnas tidak cuma sekedar formalitas belaka.
Namun yang tidak kalah penting menjadi sorotan publik adakah pemisahan yang jelas antara fungsi sipil dengan fungsi militer yang terlanjur melekat di tubuh Polri. Setidaknya untuk mengurangi pendekatan melalui senjata dalam menghadapi rakyat sipil, terutama di daerah konflik atau saat rakyat melakukan aksi untuk menyampaikan aspirasinya yang tersumbat di parlemen.
Banten, 20 September 2025