Oleh M. Farycho Abung
Konflik agraria di Indonesia selalu menjadi cerita panjang yang sulit diselesaikan. Dalam kondisi tersebut, Masyarakat Adat dan Petani kecil merupakan kaum yang selalu berada di posisi paling rentan. Mereka bukan hanya kehilangan tanah, tetapi juga akses hidup dan bahkan identitas sosial karena praktik penguasaan lahan yang timpang.
Di Lampung, keberadaan perusahaan besar seperti Sugar Group Companies (SGC) menjadi salah satu pemicu polemik tersebut. Berdasarkan dokumen Pansus DPRD Tulang Bawang tahun 2017 bersama penelitian yang dilakukan oleh sejumlah akademisi mengungkap bahwa terdapat dugaan kuat adanya manipulasi administratif, pelanggaran tata ruang, hingga perampasan hak atas tanah rakyat. Fakta-fakta ini seharusnya mampu membuka mata publik bahwa terdapat persoalan struktural yang tidak bisa dipandang sebelah mata.
Bagi banyak pihak, terkhusus para petani kecil, konflik agraria dengan korporasi raksasa bukan hanya sekadar sengketa tanah, melainkan soal ketidakadilan sosial. Perusahaan dengan modal besar memiliki akses politik dan hukum, sementara masyarakat kecil terpinggirkan tanpa ruang untuk membela diri. Inilah wajah nyata kesenjangan yang kerap disembunyikan di balik jargon pembangunan, padahal kita semua mengetahui bahwa ketidakadilan sosial bukan merupakan cita dan harapan di Republik ini.
Namun, setiap kali isu ini diangkat, selalu muncul narasi tandingan. Narasi itu hadir dengan membawa kisah manis tentang bagaimana perusahaan telah berkontribusi bagi masyarakat. Seperti hal nya Umar Ahmad (Mantan Bupati Tulang Bawang) yang mengisahkan bahwa SGC telah berkontribusi banyak untuk kehidupan masyarakat seperti penyediaan fasilitas pendidikan, lapangan pekerjaan, dan kesejahteraan. Selaku mantan Kepala Daerah, ia bukan sosok bodoh yang tak mengetahui fakta wilayah yang pernah ia pimpin. Namun kekuasaan dan hutang budi mampu membuatnya bisu bahkan bersuara hanya untuk melindungi sang nyonya.
Retorika Manis Umar dalam melindungi SGC
Banyak pernyataan Umar Ahmad dihadapan publik yang menyanjung SGC. Disebutkan bahwa perusahaan ini membuka sekolah, mendukung kesenian, menyediakan lapangan kerja, hingga menjaga ketersediaan gula nasional. Semua itu terdengar manis, membuat publik sejenak melupakan konflik agraria yang menyertainya, bahkan membuat masyarakat merasa berdosa ketika bersuara mengenai ketidakadilan dan kekejaman yang dilakukan SGC.
Namun, perlu diingat, kebaikan yang dipublikasikan itu bukanlah kemurahan hati, melainkan kewajiban hukum. Pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dengan jelas mengatur kewajiban perusahaan melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan (CSR). Artinya, kontribusi yang selalu dielu-elukan tersebut merupakan bentuk pelaksanaan aturan negara, bukanlah hadiah gratis atau sebagai bentuk kemurahan hati sang nyonya.
Di sinilah letak persoalannya, Program CSR sering dipoles sebagai bukti kepedulian perusahaan terhadap masyarakat. Padahal jika ditelusuri, hal tersebut merupakan keharusan yang sudah ditetapkan oleh Negara. Dengan kata lain, publik digiring untuk berterima kasih atas sesuatu yang sebenarnya memang menjadi kewajiban perusahaan.
Lebih daripada itu, dengan hemat pikir saya, timbul pertanyaan sederhana, Apakah investasi pendidikan mampu mengganti hilangnya tanah masyarakat? Apakah penyediaan lapangan kerja dapat menebus ruang hidup yang dirampas? Apakah menjaga stok gula nasional dapat dijadikan dalih untuk menyingkirkan hak rakyat kecil? tentu saja jawabannya “tidak”, karena jika jawabannya “iya” maka itu tidak lebih dari sebuah kebodohan.
Politik Narasi dan Pengaburan Realitas
Retorika kebaikan adalah bagian dari politik narasi. Dengan membingkai konflik agraria dalam cerita pembangunan dan kesejahteraan, realitas yang keras berubah menjadi lunak. Publik diarahkan untuk percaya bahwa keberadaan perusahaan lebih banyak membawa berkah daripada masalah.
Narasi ini bekerja bak kabut. Ia mengaburkan pandangan kritis, menciptakan situasi yang sulit untuk membedakan mana kebaikan sejati dan mana strategi komunikasi korporasi. Padahal, di balik cerita manis itu, ada jeritan petani yang kehilangan tanahnya.
Lebih jauh lagi, retorika kebaikan sering digunakan untuk menekan kritik. Suara rakyat yang memperjuangkan tanahnya kerap dianggap mengganggu stabilitas. Kritik dari mahasiswa dan akademisi pun tidak jarang dicap sebagai politisasi. Padahal, kritik tersebut lahir dari kenyataan pahit yang tidak bisa dibiarkan begitu saja.
Retorika kebaikan, jika dibiarkan, akan terus menjadi alat untuk mempertahankan status quo. Perusahaan tetap leluasa beroperasi, sementara masyarakat kecil hanya dianggap objek penerima bantuan, bukan subjek yang berhak menentukan nasibnya.
Jika tidak dibaca secara kritis, publik akan terus terjebak dalam ilusi. Konflik yang seharusnya menjadi agenda penyelesaian hukum malah direduksi menjadi sekadar perdebatan tentang siapa yang paling berjasa bagi pembangunan.
Problematika Sugar Group Company
Sebaik-baiknya Umar menjadikan CSR sebagai suatu kontribusi nyata SGC, hal tersebut tetap tidak mampu menutupi segudang problematika yang justru memperlihatkan wajah asli korporasi raksasa ini. Salah satunya ialah mengenai praktik suap Zarof Ricar yang menyeruak ke publik, hal tersebut memperlihatkan bahwa konflik agraria hanyalah salah satu bagian dari dosa SGC.
Zarof Ricar, mantan pejabat Mahkamah Agung. Dalam pengakuannya, ia menyebut telah menerima uang mencapai Rp 70 miliar dari pihak yang terafiliasi dengan SGC untuk memenangkan perkara perdata gula melawan Marubeni.
Kasus ini menunjukkan bagaimana perusahaan dengan modal besar tidak segan menghamburkan uang guna menggerogoti sendi hukum demi mempertahankan kepentingannya. Narasi kebaikan yang mereka bangun di ruang publik ternyata ditopang oleh praktik kotor di balik meja hijau. Uang menjadi alat bisu untuk meredam keadilan, bahkan di lembaga peradilan tertinggi sekalipun. Maka dengan itu biarkan rakyat menjadi hakim dan menghukum SGC.
Menolak Dibungkam oleh Kebaikan Semu
Masyarakat sipil tidak boleh terjebak dalam retorika kebaikan. Kita perlu membedakan antara kewajiban hukum dan kemurahan hati. Ketika perusahaan melaksanakan CSR, itu bukanlah bonus, melainkan kewajiban yang melekat pada statusnya sebagai perseroan terbatas.
Mahasiswa, akademisi, dan organisasi masyarakat harus terus mengingatkan publik bahwa konflik agraria adalah persoalan struktural. Selama tanah rakyat dirampas dan ruang hidup dihancurkan, sebesar apa pun sumbangsih perusahaan tidak bisa dianggap solusi.
Lebih dari itu, membiarkan retorika kebaikan menguasai percakapan publik sama saja dengan menutup mata terhadap penderitaan rakyat. Narasi manis tidak boleh membungkam jeritan yang nyata.
Seperti hal-nya yang dikatakan M. Ammar Fauzan (Ketua Bem Universitas Lampung) kepada saya sepekan yang lalu; “Bang, ini tentang keadilan, maka sudah barang tentu kita harus bertindak bersama, melawan segala bentuk penindasan dan menghancurkan segala bentuk narasi yang melindungi penindasan”.
Dengan adanya ucapan tersebut, sudah barang tentu saya tidak membiarkan saudara seperjuangan saya bergerak secara tunggal, maka dengan itu saya menegaskan bahwa saya berada dijalan yang sama.
Sebagai akhir dari penutupan opini yang mungkin menjengkelkan bagi mereka yang menindas dan melindungi penindas, saya mengingatkan kepada semua pihak bahwa tugas kita adalah memastikan bahwa kebaikan tidak dijadikan alat untuk menutupi kesalahan. Sebab, keadilan sosial tidak bisa diganti dengan beasiswa, sekolah, atau bantuan lain yang hanya bersifat kosmetik.
Jika masyarakat terlena, maka sejarah akan mencatat kita sebagai generasi yang gagal membongkar ilusi. Sebaliknya, jika berani bersuara, kita bisa menjadi bagian dari perjuangan panjang menuju keadilan agraria. (*)