MERASAKAN JEJAK TUHAN DALAM AGAMA, FILSAFAT, SENI, DAN GERAKAN SOSIAL

Pengantar Buku Budhy Munawar Rahman: Dimensi Esoterika, Memaknai Seni Mencintai Tuhan

Serba-Serbi16 Dilihat

Esai:

MERASAKAN JEJAK TUHAN DALAM AGAMA, FILSAFAT, SENI, DAN GERAKAN SOSIAL
Oleh Denny JA

– Pengantar Buku Budhy Munawar Rahman: Dimensi Esoterika, Memaknai Seni Mencintai Tuhan

Di sebuah malam sunyi di Mekkah, saya melihat seorang pria tua duduk bersila di dekat Ka’bah.

Ia tak sedang thawaf. Tak pula membaca zikir yang bersuara. Ia hanya menatap lembut dinding hitam itu—seolah hendak mengingat wajah Tuhan yang tak tergambar.

Udara panas menggigit. Tapi tubuhnya tetap diam, seolah ia telah belajar mencintai dalam kondisi yang tak bersyarat.

Saya mendekatinya pelan, lalu bertanya lirih, “Bro, tak pindah ke dalam saja, yang teduh.”

Ia menoleh perlahan. Suaranya nyaris seperti bisikan angin:
“ Tak apa, di sini saja.”

“Sedang berdoa soal apa bro, sehingga perlu berpanas- panas seperti ini?” Tanya saya lebih jauh.

Jawabnya singkat: Aku tidak sedang meminta apa-apa. Aku hanya ingin berada di sini. Bersama-Nya. Meski Ia diam. Meski doaku tak dijawab. Cinta tak selalu butuh balasan.”

Lalu ia kembali diam. Tapi diamnya bukan kehampaan.
Melainkan semacam puisi sunyi, tentang cinta yang bertahan bahkan ketika langit tak memberikan tanda.

Jawaban itu menyapa seperti cahaya yang sunyi. Bukan pernyataan teologis, melainkan nyala batin yang telah melampaui kata, melampaui bukti, melampaui doa.

Ia telah memasuki wilayah yang oleh Budhy Munawar Rahman disebut sebagai dimensi esoterika.

Ini ruang terdalam jiwa manusia, tempat cinta kepada Tuhan tidak memerlukan pembenaran, tak menuntut jawaban. Cinta murni yang hadir tanpa nama.

Buku Dimensi Esoterika, yang ditulis Budhy Munawar Rahman bukan sekadar kajian lintas agama. Ia adalah ziarah batin umat manusia.

Di dalamnya, Budhy mengajak kita menyusuri cinta Ilahi yang hidup dalam berbagai ekspresi: agama-agama besar, filsafat Timur dan Barat, seni, sastra, bahkan perjuangan sosial.

Dan yang paling menggugah: bagaimana cinta kepada Tuhan tetap mungkin—bahkan ketika nama Tuhan tak lagi disebut.

-000-

Dua Jalan Cinta: Jalan Tembok dan Jalan Jembatan

Cinta kepada Tuhan bisa menjadi cahaya yang menuntun. Tapi juga bisa berubah menjadi api yang membakar. Dalam pengantarnya, Budhy membedakan dua jalan cinta yang kontras.

Jalan pertama, yang dikemukakan oleh Charles Wilson, adalah cinta yang menyempit: cinta yang menjadi eksklusif, menjadi dogma yang membenarkan kekerasan terhadap yang berbeda.

Ini adalah cinta yang membangun tembok—tembok iman, tembok identitas, tembok klaim kebenaran.

Semakin cinta Tuhan, ia semakin fanatik, eksklusif, dan mudah berakhir pada konflik dengan “cinta Tuhan” tapi dari versi berbeda.

Ini menjelaskan terjadinya banyak perang agama. Tak ada perang dalam sejarah yang lebih panjang dibandingkan perang salib antara Islam dan Kristen, yang terjadi sekitar 200 tahun.

Namun Budhy menawarkan jalan kedua: cinta yang membangun jembatan. Melalui pendekatan ASWKB (Agama sebagai Warisan Kultural Milik Bersama)—yang menurut Budhy berpijak pada pemikiran saya (Denny JA) sendiri dan menjadi fondasi Forum Esoterika.

Budhy melihat agama bukan sebagai klaim eksklusif atas wahyu, melainkan sebagai warisan spiritual buat semua umat manusia.

Cinta kepada Tuhan yang tumbuh dari kesadaran ini tidak menghakimi, tetapi merangkul. Itu karena agama dan Tuhan untuk semua.

Agama, dalam pendekatan ini, bukan pagar, tapi taman. Bukan palang, tapi undangan. Bukan tembok, tapi jembatan

-000-

1. Cinta Tuhan dalam Agama Abrahamik

Dalam Yudaisme, cinta Tuhan itu panggilan etis: Shema Yisrael menyerukan umat untuk mencintai Tuhan dengan segenap hati dan kekuatan. Di sini, cinta adalah komitmen kolektif, bukan sekadar pengalaman pribadi.

Dalam Kekristenan, cinta Ilahi memuncak dalam salib. Yesus menjadi simbol cinta yang melampaui batas manusiawi—cinta yang menderita, mencintai bahkan mereka yang menyalibkan-Nya.

Dalam Islam, cinta menemukan bentuk paling puitis dalam tasawuf. Rabiah al-Adawiyah menyatakan, “Aku mencintai-Mu bukan karena takut neraka atau rindu surga, tapi karena Engkau layak dicintai.” Di sini, cinta bukan permintaan, melainkan pelepasan.

Tiga agama ini berbicara dengan aksen berbeda, namun bernyanyi dalam nada yang sama: cinta kepada Tuhan sebagai cahaya yang memanggil pulang.

-000-

2. Cinta dalam Filsafat Timur: Sunyi sebagai Bahasa

Dalam Hinduisme, cinta kepada Tuhan diwujudkan dalam bhakti—sebuah relasi yang personal dan penuh kelembutan antara jiwa dan Dewa. Cinta ini menari dalam puja, bergema dalam mantra, dan hadir dalam ketulusan yang tak rumit.

Dalam Buddhisme, Tuhan personal mungkin tak ada. Tapi cinta tetap hidup—dalam bentuk karuna, welas asih universal yang muncul dari pemahaman akan penderitaan semua makhluk. Cinta sebagai pencerahan.

Dalam Taoisme, mencintai Tuhan berarti hidup selaras dengan Tao—mengalir tanpa ambisi, mencintai tanpa menggenggam. Cinta di sini adalah keheningan yang menyatu dengan semesta.

-000-

3. Filsafat Barat: Cinta sebagai Pertanyaan

Filsafat Barat menempatkan cinta kepada Tuhan sebagai sebuah tanya yang tak selesai. Plato melihat cinta sebagai pendakian jiwa menuju dunia ide, menuju Kebaikan yang murni. Aristoteles menyebut Tuhan sebagai bentuk sempurna, yang dicintai karena kesempurnaannya.

Di era modern, Kierkegaard menyebut iman sebagai leap of faith—lompatan buta ke dalam paradoks. Derrida menambahkan: Tuhan adalah yang selalu menunda hadir. Cinta kepada-Nya adalah luka yang tak kunjung sembuh, rindu yang tak kunjung padam.

-000-

4. Seni dan Sastra: Ketika Cinta Tak Perlu Kata

Seni adalah doa yang tak memerlukan dogma. Dalam tarian Rumi, dalam puisi Hamzah Fansuri, dalam gamelan Bali dan kaligrafi Persia—Tuhan hadir sebagai getaran.

Seni tidak menjelaskan. Ia menggetarkan. Dalam lukisan yang diam, dalam nada yang mengalun, cinta Tuhan terasa—bahkan sebelum disebut.

-000-

5. Kaum Sekuler: Cinta Tanpa Nama

Budhy dengan berani memasukkan kaum yang tak menyebut nama Tuhan dalam peta cinta spiritual ini. Dalam dunia sekuler, cinta Tuhan hadir sebagai etika, sebagai komitmen terhadap kebaikan.

Albert Camus, meski tak percaya Tuhan personal, memperjuangkan nilai-nilai transenden. Di sana, cinta tetap hadir—sebagai cahaya yang tak perlu nama.

-000-

6. Gerakan Sosial: Cinta yang Membela

Cinta kepada Tuhan, jika sejati, tidak hanya tinggal di sajadah. Ia turun ke jalan. Ia berdiri di antara yang tertindas.

Dari Gandhi hingga Martin Luther King Jr., dari Al-Hallaj hingga pembela HAM masa kini, cinta Ilahi menjadi aksi.

Budhy mengajak kita memahami: cinta sejati adalah keberpihakan pada keadilan.

-000-

Titik Temu: Dimensi Esoterika dan Rudolf Otto

Buku Budhy ini mengingatkan saya pada karya agung Rudolf Otto berjudul The Idea of the Holy (Oxford University Press, 1923).

Otto memperkenalkan konsep numinous: pengalaman akan Yang Kudus sebagai mysterium tremendum et fascinans—rasa takut sekaligus tertarik, gemetar sekaligus terpanggil.

Seperti Otto, Budhy tidak mengajarkan Tuhan. Ia mengajak kita mengalami Tuhan. Dalam pengalaman itulah, agama menjadi jalan batin. Bukan monopoli wahyu, tapi pantulan kerinduan universal.

-000-

Buku Dimensi Esoterika bukan teologi. Ia adalah ziarah tanpa peta. Ia tidak meminta kita berpindah keyakinan, tapi mengajak kita menyelam lebih dalam ke batin kita sendiri.

Tuhan dalam buku ini bukan yang tinggal di menara gading doktrin. Ia berdiam di mata anak kecil, dalam peluh buruh tani, dalam kesunyian puisi yang tak rampung. Ia adalah yang kita rindu meski tak kita sebut.

Dalam dunia yang riuh oleh perdebatan dan nama-nama Tuhan yang saling memukul, buku ini adalah bisikan lembut yang mengajak kita pulang—dalam diam, dalam cinta.

Buku ini menjadi lentera batin yang ensiklopedis. Lengkap. Menyeluruh. Komprehensif.

Bukan karena buku ini menjawab seluruh tanya. Tapi karena ia mengantar kita pulang— tanpa peta, tapi dengan cinta. ***)

 

Posted: suryaindonesia.net
Jakarta, 4 Agustus 2025

Denny JA, Penulis, Penyair, Tokoh Puisi Esai Indonesia, dan Filsuf

 

Referensi:
1. Rudolf Otto, The Idea of the Holy, Oxford University Press, 1923.

2. Karen Armstrong, A History of God: The 4,000-Year Quest of Judaism, Christianity and Islam, Alfred A. Knopf, 1993.

-000-

Ratusan esai Denny JA soal filsafat hidup, political economy, sastra, agama dan spiritualitas, politik demokrasi, sejarah, positive psychology, catatan perjalanan, review buku, film dan lagu, bisa dilihat di FaceBook Denny JA’s World