Tradisi Srawung Suro di Patirtaan Ngawonggo: Mahasiswa UMM dan Warga Berpadu dalam Ruang Perenungan Budaya Jawa

Budaya30 Dilihat

 

MALANG, SURYA INDONESIA,  — Menyambut datangnya bulan Suro dalam penanggalan Jawa, suasana khidmat dan hangat terasa di Situs Patirtaan Ngawonggo, Kabupaten Malang.

Di tengah lingkungan sakral dan penuh makna sejarah itu, digelar acara Srawung Suro, kolaborasi antara warga setempat dengan mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) melalui kelompok praktikum Public Relations 3 yang tergabung dalam Arture.(28/6/2025)

Berbeda dari gelaran budaya sebelumnya yang penuh semarak, Srawung Suro tampil sebagai ruang refleksi dan spiritualitas.

Warga dari lingkungan sekitar datang membawa encek, wadah makanan berisi lauk-pauk rumahan yang kemudian ditukar satu sama lain.

Sebelum prosesi tersebut, acara diawali dengan pembacaan doa bersama—secara adat dan Islam—sebagai bentuk rasa syukur dan permohonan berkah di awal tahun baru Jawa.

Cak Yasin, selaku Kepala Pengelola Situs Patirtaan Ngawonggo, menyampaikan bahwa tradisi suroan memang rutin digelar setiap tahun di kawasan tersebut.

Ia menekankan bahwa nilai utama dari Suro bukan sekadar seremonial, melainkan pengingat untuk menyucikan diri dan kembali pada nilai-nilai kebatinan.

“Di sini, suroan bukan hanya kebiasaan tahunan. Ini momen untuk meneng, eling, dan ngresiki ati. Lewat bertukar encek, kita mengekspresikan rasa syukur bisa dipertemukan lagi dengan tahun baru,” jelasnya.

Ciri khas lain dari acara ini adalah kehadiran kuliner tradisional jenang suro, makanan yang hanya dibuat saat bulan Suro.

Dibuat dari beras dan polo pendem (umbi-umbian), jenang ini disajikan bersama irisan telur, serundeng, cambah, teri, dan kacang mete.

Menurut Cak Yasin, makanan ini menyimbolkan harapan untuk hidup bersih dan membumi.

“Jenang suro itu bukan sekadar makanan—ia lambang kesucian. Sederhana bahannya, tapi penuh makna. Di bulan suci ini, kita juga diajak hidup sederhana dan bersih, lahir maupun batin,” tambahnya.

Dalam budaya Jawa, bulan Suro dianggap sakral. Oleh karena itu, masyarakat setempat masih menjaga nilai-nilai tradisi dengan tidak menggelar hajatan besar seperti pernikahan atau pembangunan rumah.

Hal ini memperkuat kesan bahwa Suro adalah waktu untuk berhenti sejenak, merenung, dan memperbaiki niat.

Keunikan dari Srawung Suro tahun ini adalah kehadiran peserta dari event budaya SWARGO yang sebelumnya digelar oleh Arture di tempat yang sama.

Srawung Suro menjadi jembatan lanjutan dari euforia perayaan ke ruang yang lebih hening dan mendalam. Jika SWARGO menyuguhkan nuansa kampung Jawa masa lalu secara visual dan interaktif, maka Srawung Suro melengkapinya dengan
nilai-nilai spiritual.

Rizky, selaku Project Manager event SWARGO, menyatakan bahwa keterlibatan mahasiswa dalam dua rangkaian kegiatan ini menjadi bukti bahwa generasi muda bisa aktif dalam pelestarian budaya secara menyeluruh.

“Kami belajar bahwa pelestarian budaya bukan cuma soal perayaan. Ada sisi perenungan yang tidak kalah penting. Lewat Srawung Suro, kami ingin tunjukkan bahwa anak muda juga bisa menjaga dan meneruskan tradisi, dengan cara yang relevan,” ujar Rizky.

Kolaborasi antara mahasiswa dan masyarakat ini memperlihatkan bahwa pelestarian budaya tak hanya bergantung pada pelaku adat, namun juga bisa dijalankan lintas generasi.

Mahasiswa hadir tak sekadar sebagai penyelenggara, melainkan sebagai penggerak yang menghidupkan kembali akar tradisi lewat pendekatan yang bermakna. Srawung Suro 2025 bukan hanya acara budaya, tetapi ruang refleksi bersama.

Ia mengingatkan bahwa warisan budaya tak hanya untuk dikenang atau dirayakan, tetapi juga untuk dimaknai dan dilanjutkan dengan kesadaran, rasa syukur, dan kebersamaan. (Wita)