Dalam keterangannya, Deri menyebutkan bahwa ujaran kebencian yang marak beredar di media sosial maupun ruang publik bukan hanya merusak ketertiban sosial, tetapi juga berpotensi menimbulkan disintegrasi bangsa.
“Ujaran kebencian itu berbahaya. Sekali dilontarkan, dampaknya bisa meluas dan merusak relasi sosial antar kelompok. Ini harus menjadi perhatian bersama,” kata Deri.
Dia menekankan pentingnya kesadaran kolektif untuk tidak terjebak dalam penyebaran konten yang memprovokasi dan menimbulkan kebencian berbasis suku, agama, ras, maupun politik identitas.
Menurutnya, generasi muda harus menjadi motor penggerak perdamaian, bukan justru ikut menyulut konflik.
“Ujaran kebencian itu ibarat api kecil. Jika dibiarkan, ia bisa membesar menjadi kebakaran hebat. Pemuda harus menjadi agen perdamaian,” ujarnya.
Sebagai seorang advokat muda asal Baturaja, Deri menyayangkan fenomena penggunaan media sosial yang kerap disalahgunakan untuk menyebarkan kebencian.
Padahal, kata dia, ruang digital seharusnya menjadi tempat untuk bertukar gagasan, menyebarkan nilai-nilai positif, serta memperkuat solidaritas kebangsaan.
“Sayangnya, media sosial kerap menjadi ladang subur bagi konten bermuatan negatif. Ini bisa mencederai semangat persatuan kita,” ujarnya.
Dia pun mendorong kolaborasi aktif dari semua elemen, mulai dari pemerintah, aparat penegak hukum, tokoh masyarakat, hingga organisasi kepemudaan untuk terus mengedukasi masyarakat terkait bahaya ujaran kebencian.
Deri juga menegaskan pentingnya peran platform digital dalam melakukan moderasi konten yang berpotensi menimbulkan perpecahan.
Di akhir pernyataannya, Deri mengajak para pemuda di Sumatera Selatan untuk tidak sekadar hadir dalam wacana, tetapi juga turun langsung menjadi pelaku perubahan—baik di dunia nyata maupun ruang digital.
“Pemuda Sumsel harus menjadi pelopor narasi yang membangun. Tampilkan diri sebagai garda terdepan dalam menciptakan ruang digital yang sehat, inklusif, dan beretika,” pungkasnya. (fahmi hendr)