Soekarno dan Islam: Sebuah Hubungan Personal, Ideologis, dan Politik

Politik11 Dilihat

Artikel:
Soekarno dan Islam: Sebuah Hubungan Personal, Ideologis, dan Politik
Oleh Djoko Sukmono

I. Pendahuluan
Soekarno, proklamator dan presiden pertama Republik Indonesia, merupakan sosok yang kompleks dalam banyak hal, termasuk dalam hubungannya dengan Islam.

Sebagai ideologi, agama, dan kekuatan politik, Islam telah membentuk sejarah dan budaya Indonesia selama berabad-abad. Namun, bagi Soekarno, Islam bukan hanya tradisi sosial, melainkan juga medan pergulatan personal dan politik.

Hubungan Soekarno dengan Islam tidak bisa direduksi hanya kepada kedekatan spiritual atau jarak ideologis; ia adalah interaksi dialektis antara keyakinan, strategi kenegaraan, dan realitas sosial Indonesia yang plural.

II. Soekarno dan Islam sebagai Pengalaman Personal

Soekarno dilahirkan dari keluarga yang secara genealogis dan spiritual berada di antara dua tradisi besar: Islam dan kebudayaan Jawa.

Ayahnya, Raden Soekemi Sosrodihardjo, adalah seorang abdi negara berpendidikan Barat dengan simpati terhadap pemikiran modernis, sementara ibunya, Ida Ayu Nyoman Rai, berasal dari kalangan bangsawan Bali yang beragama Hindu.

Meski demikian, Soekarno muda dibesarkan dalam suasana Muslim-Jawa yang sinkretis, yang kental dengan nilai-nilai kejawen, tarekat, dan praktik religius yang tidak kaku.

Soekarno pernah mengenyam pendidikan pesantren di Situbondo dan akrab dengan kehidupan santri. Dalam banyak kesempatan, ia mengutip Al-Qur’an, hadis, dan kisah Nabi Muhammad SAW dalam pidato-pidatonya, yang menunjukkan penguasaannya terhadap narasi-narasi Islam klasik.

Akan tetapi, hubungan personal Soekarno dengan Islam bukan dalam bentuk ketaatan ritual yang ketat, melainkan lebih sebagai keterikatan kultural dan spiritual yang lentur.

Ia tidak dikenal sebagai seorang yang secara konsisten menjalankan ibadah formal, tetapi ia menampilkan dirinya sebagai Muslim yang religius dan patriotik.

Ketertarikan Soekarno pada Islam juga tumbuh melalui relasinya dengan tokoh-tokoh pergerakan Islam seperti Ahmad Hassan (Persis), Agus Salim, dan HOS Tjokroaminoto.

Khususnya dengan Tjokroaminoto, Soekarno mengalami pembentukan ideologis yang signifikan. Tjokro tidak hanya menampung Soekarno sebagai murid di rumahnya, tetapi juga memperkenalkannya pada pemikiran Islam modernis dan semangat pembebasan umat.

Tjokroaminoto menjadi figur bapak politik yang membentuk kesadaran Soekarno mengenai pentingnya Islam sebagai kekuatan sosial dan kultural bangsa.

III. Islam dalam Gagasan Ideologis Soekarno

Pada level ideologis, Islam bagi Soekarno bukan semata doktrin keimanan, melainkan juga sumber nilai-nilai revolusioner.

Ia menyatakan bahwa Islam adalah agama revolusi, dan Nabi Muhammad adalah revolusioner besar yang membebaskan manusia dari penindasan struktural.

Dalam tulisannya seperti “Mentjapai Indonesia Merdeka” dan pidato-pidato di masa revolusi, Soekarno sering menyandingkan Islam dengan sosialisme dan nasionalisme sebagai kekuatan pembebas.

Namun, Soekarno tidak pernah menjadi ideolog Islamisme. Ia menolak gagasan negara Islam dan tidak mendukung formalisasi syariat sebagai hukum negara.

Dalam debat panjang menjelang kemerdekaan, terutama dalam sidang BPUPKI tahun 1945, Soekarno menjadi salah satu pendukung utama negara kebangsaan yang inklusif, bukan negara Islam.

Ia memperjuangkan Pancasila sebagai dasar negara, dan dalam proses itu ia berhasil meyakinkan kelompok Islam bahwa negara Indonesia dapat menjadi “negara semua agama”, bukan negara sekuler, tetapi juga bukan negara Islam.

Konsepsi Soekarno tentang Pancasila adalah sintesis antara nilai-nilai spiritual, keadilan sosial, dan persatuan nasional.

Ia meyakini bahwa sila Ketuhanan Yang Maha Esa mencerminkan nilai Islam, Kristen, Hindu, dan kepercayaan lokal, tanpa menjadikannya eksklusif untuk satu agama tertentu.

Bagi Soekarno, Islam adalah salah satu fondasi moral bangsa, tetapi tidak bisa dijadikan ideologi tunggal negara karena Indonesia adalah negara majemuk.

Dalam hal ini, Soekarno mengambil posisi tengah antara sekularisme Barat dan Islamisme Timur Tengah.

Gagasan ideologis Soekarno juga banyak dipengaruhi oleh pemikiran Islam progresif.

Ia mengagumi tokoh-tokoh seperti Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh, serta menafsirkan Islam sebagai agama yang dinamis, anti-imperialis, dan pembebas.

Dalam pidato-pidatonya pada tahun 1950-an dan 1960-an, Soekarno sering menekankan pentingnya “Islam yang berkemajuan”, bukan Islam jumud atau taqlid.

Ia juga mendukung gagasan ijtihad dan pembaruan pemikiran Islam, selaras dengan semangat revolusi nasional.

IV. Soekarno dan Islam sebagai Kekuatan Politik

Dalam ranah politik, Soekarno memiliki hubungan yang fluktuatif dengan kekuatan-kekuatan Islam. Pada awal pergerakan kemerdekaan, ia menjalin hubungan erat dengan Sarekat Islam dan tokoh-tokoh Islam progresif.

Namun, pada era pasca-kemerdekaan, relasinya dengan partai-partai Islam menjadi lebih kompleks dan kadang-kadang konfrontatif.

Pada masa Demokrasi Parlementer (1950–1959), partai-partai Islam seperti Masyumi dan NU menjadi kekuatan penting di parlemen, tetapi Soekarno melihat sistem multipartai sebagai hambatan bagi stabilitas nasional.

Ia menganggap partai-partai Islam terlalu terikat pada kepentingan sektarian dan kurang mampu mewujudkan cita-cita revolusi nasional.

Maka dari itu, ketika ia menggagas Demokrasi Terpimpin pada tahun 1959, ia membubarkan Konstituante dan mengembalikan UUD 1945, yang memberinya wewenang besar untuk mengatur arah politik negara.

Di era Demokrasi Terpimpin, Soekarno berusaha menyeimbangkan kekuatan politik Islam dengan kekuatan nasionalis dan komunis.

Ia memperkenalkan konsep Nasakom (Nasionalisme, Agama, Komunisme) sebagai strategi menyatukan kekuatan sosial utama bangsa.

Dalam hal ini, Soekarno menempatkan Islam bukan sebagai oposisi terhadap komunisme, tetapi sebagai salah satu pilar revolusi.

Meskipun demikian, kebijakan ini ditentang oleh banyak kalangan Islam yang melihat komunisme sebagai anti-Tuhan dan bertentangan dengan akidah.

Hubungan Soekarno dengan Masyumi memburuk setelah partai tersebut menolak keterlibatan dalam sistem Demokrasi Terpimpin dan dituduh terlibat dalam pemberontakan PRRI/Permesta.

Soekarno kemudian membubarkan Masyumi pada tahun 1960. Sebaliknya, NU yang lebih pragmatis tetap mendukung Soekarno dan bahkan mendapatkan posisi strategis dalam pemerintahan.

Soekarno juga sering memanfaatkan simbol-simbol Islam dalam politik luar negeri. Ia membangun hubungan diplomatik dengan negara-negara Islam dan menghadiri Konferensi Islam Internasional.

Ia mendorong solidaritas dunia Islam melawan kolonialisme dan menjadikan Indonesia sebagai pelopor dalam Gerakan Non-Blok yang sebagian besar anggotanya adalah negara-negara Muslim.

Dengan demikian, Islam dalam politik luar negeri Soekarno berfungsi sebagai alat diplomasi dan solidaritas global, bukan sebagai basis ideologis eksklusif.

V. Soekarno dan Transformasi Islam Kultural

Dalam ranah budaya, Soekarno berusaha menciptakan Islam yang kompatibel dengan kebudayaan Nusantara.

Ia menolak Islam puritan yang menafikan kebudayaan lokal, dan sebaliknya mendorong Islam yang ramah terhadap seni, tradisi, dan pluralitas.

Dalam berbagai kesempatan, ia membela wayang, gamelan, dan seni tradisional dari kritik sebagian kelompok Islam yang menganggapnya bid’ah.

Bagi Soekarno, Islam tidak boleh tercerabut dari tanah tempat ia tumbuh. Islam Indonesia harus berbeda dari Islam Arab atau Turki.

Ia menolak arabisasi dan mendukung pengislaman yang kontekstual. Dalam hal ini, posisi Soekarno serupa dengan pandangan para intelektual Muslim modernis seperti Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid di masa setelahnya.

Soekarno bahkan secara eksplisit menyatakan bahwa kebudayaan nasional harus mengakomodasi Islam sebagai bagian dari warisan moral, tetapi tidak boleh menyerah kepada puritanisme atau formalisme agama.

Ia menekankan pentingnya etika Islam – kejujuran, keadilan, solidaritas – sebagai fondasi kehidupan sosial, tetapi menolak dominasi simbolik agama dalam kehidupan kenegaraan.

VI. Islam dalam Wacana Revolusi Soekarno

Soekarno memandang Islam sebagai kekuatan revolusioner yang potensial, tetapi tidak selalu aktual.

Ia menilai bahwa banyak kalangan Islam telah kehilangan semangat radikal dan tenggelam dalam konservatisme. Karena itu, dalam pidato-pidatonya yang revolusioner pada awal 1960-an, ia sering mengkritik kaum “kaum tua” yang dianggap tidak sejalan dengan revolusi.

Namun, ia tetap memberi tempat penting bagi Islam dalam narasi revolusinya. Dalam pidato-pidato seperti “Tahun Vivere Pericoloso” dan “Capailah Bintang-Bintang,” Soekarno menyatakan bahwa revolusi Indonesia harus membangkitkan semangat jihad, semangat hijrah, dan semangat nabi.

Ia menggunakan metafora Islam untuk membakar semangat rakyat, menunjukkan bahwa Islam tetap merupakan sumber legitimasi dan inspirasi revolusi. ***)

Posted: saeinahnews.com
Surabaya, 19 Juni 2025

Oleh : Joko Sukmono, Badan Pendidikan dan Pelatian Gerakan Pemuda dan Pelatihan Nasionalis Marhaenis (NASMAR)