PNIB: Waspadai Bendera Khilafah Bertebaran Dampak Reuni 212

Serba-Serbi113 Dilihat

 

JOMBANG, SURYA INDONESIA, –  Reuni akbar PA 212 yang digelar di Monas memunculkan banyak kontroversi. Ribuan jamaah yang hadir dari berbagai daerah menggunakan berbagai atribut memeriahkan acara rutin tiap tahun yang mengingatkan bangsa ini pada kenangan politik identitas Pilkada DKI 2016. Selasa, (2/12/2024)

Kelompok 212 yang masih eksis dianggap menjadi duri dalam daging upaya pemerintah memupus intoleransi dan politik identitas yang menjadi biang keladi perpecahan bangsa.

Ormas lintas budaya, Suku, Agama dan Kebhinekaan Pejuang Nusantara Indonesia Bersatu (PNIB) menanggapi dengan tegas penolakan pada kelompok 212 yang memanfaatkan momentum peringatan tiap tanggal 2 Desember sebagai kebangkitan kaum Wahabi Khilafah yang notabene merupakan bibit Intoleransi Radikalisme Separatisme Terorisme.

“Kebangkitan kaum Khilafah Terorisme bukan dengan cara mendompleng kelompok 212 yang identik dengan politik identitas. Pemahaman kita jangan sampai keblinger atau kebolak-balik. Islam justru jadi terpuruk karena ada politik identitas,” tegasnya.

“Setiap tahun kita diingatkan dengan luka bangsa peristiwa 212 dan yang kemudian terjadi kelompok intoleransi, radikalisme, terorisme khilafah dan wahabi mendapat panggung. Ini sungguh memprihatinkan bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia ke depannya,” sambung Gus Wal

Fakta di lapangan saat pelaksanaan reuni mengungkap ratusan atribut dan bendera Khilafah, HTI dan Negara Islam dikibarkan dengan bebas.

Tidak sedikit yang meneriakkan kebangkitan khilafah sebagai solusi bangsa. Hal tersebut sudah jauh-jauh hari diwaspadai oleh PNIB sebagai agenda terselubung kelompok anti Pancasila.

Ia paparkan bahwa bendera dan spanduk khilafah sampai poster negara Islam bebas bertebaran dalam acara reuni 212. Tema reuni mendukung kemerdekaan Palestina menjadi tidak penting lagi.

Selanjutnya, bagi kelompok sarabpatigenah, acara tersebut menjadi ajang unjuk kekuatan dengan bebas sebuah perlawanan massif anti Pancasila dan kebhinekaan. Jika ini tidak diantisipasi maka akan menyulitkan BNPT dan Densus 88 dalam menumpas teroris di Indonesia.

Ia mengingatkan bahwa intoleransi dan politik identitas itu ibu kandung yang melahirkan radikalisme Terorisme yang selalu berujung pada aksi terorisme.

PNIB juga menyoroti fenomena penceramah yang kini lebih mengarah pada upaya provokasi dan intimidasi daripada pencerahan aqidah Agama.

Acara mimbar keagamaan seringkali disusupi kepentingan politik dan arogansi penceramah.

Lebih lanjut, ia sampaikan bahwa cara berdakwah yang seharusnya ramah sudah berubah menjadi marah-marah.

“Gaya bahasa diskriminatif kepada pedagang es tidak bisa dimaknai sebagai bercanda. Apapun yang keluar dari mulut penceramah di atas panggung mimbar akan diikuti oleh jama’ah dan dianggap menjadi kebenaran. Ini juga salah satu bahaya laten yang harus kita waspadai bersama dampak ke depannya,” pungkas Gus Wal. (kw/ag)